
Pada hari Selasa, 14 Desember 2021, dari pukul 09:00 – 14:30 WIT, bertempat di Sekretariat kantor Yapkema, Enarotali, diselenggarakan kegiatan “Refreshing Pengetahuan Budidaya & Pasca Panen Kopi Arabika Bagi Masyarakat Adat Paniai”. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 80 petani kopi, yaitu 40 petani dari sentra wilayah Paniai Barat, 40 petani dari sentra wilayah Aradide. Beberapa dinas terkait di kabupaten seperti Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Program Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD), Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK), Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA), dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (DISPERINDAG) diundang dalam pertemuan akbar ini, tetapi hanya dari P3MD yang hadir.
Hanok Herison Pigai, Direktur YAPKEMA, ketika menyampaikan sambutan di awal kegiatan menjelaskan, maksud dari dilaksanakannya kegiatan ini yaitu pertama, mempertemukan para petani dari 2 sentra wilayah agar saling kenal satu sama lain. Kedua, pertemukan para petani dengan stakeholders di tingkat kabupaten. Ketiga, refreshing (mengingatkan kembali pengetahuan tentang budidaya, perawatan, hingga proses pasca panen kopi arabika bagi para petani kopi). Keempat, membagikan sarana produksi perkebunan (gunting dan gergaji pangkas).
“Ini kesempatan terakhir dalam program kita tahun ini. Kita pernah lakukan pelatihan di dua wilayah. Setelah itu para petani kembali ke masing-masing kampung untuk mempraktekkannya dengan bekal materi yang didapat saat pelatihan. Sekarang kita kumpul ini untuk mengingatkan kembali materi-materi yang pernah kita pelajari. Karena bisa jadi, sebagai manusia, ada di antara kita yang lupa,” kata Pigai. Pigai juga membeberkan alasan kenapa pembagian alat perkebunan sebegitu terlambat. Terlambat, menurut Pigai, karena kendala Covid-19 dan masalah teknis saat pengiriman.
Selanjutnya, penyampaian sambutan oleh Sebastianus Pigome, tenaga ahli P3MD kabupaten Paniai sekaligus koordinator pendamping untuk wilayah Paniai Barat (distrik Paniai Barat, Muye, dan Nakama). “Saya memberikan apresiasi kepada YAPKEMA yang telah mengakomodir kelompok petani lama yang tidak diakomodir oleh pemerintah. Pemerintah Paniai juga memang ada program kopi, tetapi fokus mereka ke petani baru, sampai-sampai membukakan rekening bagi para petani kopi. Bagaimana dengan petani kopi lama yang sudah menanam dan merawat kopi sejak jauh sebelumnya? YAPKEMA berhasil mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh pemerintah,” ucap Pigome.

Pigome mengenang, pada 2019, P3MD, BPMK, dan YAPKEMA bekerjasama melakukan pelatihan budidaya kopi arabika terhadap sekurang-kurangnya 2160 kader dan perangkat kampung dari 24 distrik di kabupaten. “Waktu itu, untuk program 1 juta pohon kopi, UPH Enauto buat pengadaan bibit kopi dengan skema bantuan dana desa. YAPKEMA bertanggung jawab dalam pendistribusian bibit dan pelatihan. Program ini selanjutnya ditangani sendiri oleh Pemerintah. Kami tidak tahu apakah bibit-bibit kopi itu masih dirawat baik atau tidak? Penanamannya sesuai standar atau tidak? Apakah pendampingan dan monitoring masih jalan atau tidak?” kenang Pigome.
Lebih lanjut Pigome menjelaskan, pada tahun 2022 mendatang, pengalokasian dana kampung untuk pemberdayaan ekonomi di tingkat kampung melalui BUMDES cukup besar yaitu 20%. Pihaknya akan mendata masyarakat di kampung-kampung yang selama ini aktif mengembangkan sektor perikanan seperti punya kolam ikan, sektor pertanian seperti punya kebun ubi/sayur-sayuran, peternakan seperti piara babi atau ayam, dan sektor lainnya. “Untuk pertanian kopi, kami akan meminta data kepada YAPKEMA. Kami akan berupaya semaksimal mungkin agar 80 petani binaan YAPKEMA ini juga terakomodir dalam program BUMDES,” kata Pigome.
Mewakili pemerintah, Pigome kemudian membuka resmi kegiatan tersebut.
Acara dilanjutkan dengan Refreshing Informasi Pengembangan Kopi. Sesi ini dipandu oleh Herman Degei, selaku program manajer “Program Pengembangan Kopi Arabika Berbasis Masyarakat (PPKABM) di Kabupaten Paniai 2021”. Pertama-tama, Degei berkilas balik (flashback) tentang pelaksanaan Sosialisasi Program pada awal Agustus lalu, kemudian Pelatihan Peningkatan Kapasitas Petani pada akhir Agustus dan awal September lalu, dan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Bagi Para Kader di Idokotu, Dogiyai pada pertengahan September lalu. Selanjutnya, Degei mulai menjelaskan proses budidaya, perawatan, hingga proses pasca panen. Namun sesuai permintaan peserta, dijelaskan lebih dulu mengenai apa saja dan bagaimana proses pasca panen. Penjelasan dimulai dari bagaimana cara petik biji merah, bagaimana cara sortir dengan merambang di ember atau loyang, dan proses lebih lanjut yaitu empat proses yang terdiri dari natural proses, honey proses, semi wash, dan full wash.
Degei berasal dari Mapia, Dogiyai. Sedangkan para peserta semua dari Paniai. Sama-sama suku Mee, namun beda kabupaten. Bahasanya sama, bahasa Mee, namun beda dialek/aksen. Ada juga beberapa kata yang secara pemaknaan (leksikalitas) berbeda. Untuk mengantisipasi kesalahpahaman, Degei menggunakan bahasa Indonesia, dan diterjemahkan oleh Pince Yumai, Petugas Lapangan, menggunakan bahasa Mee (Paniai). Hal ini agar pesan yang disampaikan tiba kepada peserta (efektif). Karena tidak semua peserta tahu dan atau lancar berbahasa Indonesia. Penjelasan tentang proses pasca panen disampaikan juga oleh Jack, prosesor kopi di Unit Pengelolahan Hasil (UPH) Enauto, Dogiyai.
“Bapa Mama kalau mau jual kopi itu harus jemur baik-baik dulu. Biji yang fisiknya cacat, warna hitam atau keputihan, pisahkan. Jual yang bagus-bagus saja. Simpan juga di tempat yang aman. Tempat yang bebas dari segala sesuatu yang berbau tajam. Tidak boleh taruh di dapur lagi, karena biji kopinya nanti bau asap. Pembeli dorang tidak mau beli. Kalau pembeli dong tidak mau beli, Bapa Mama mau jual ke mana? Kemudian, saat petik, Bapa Mama tidak boleh ambil biji kopi yang sudah di tanah. Petik hanya yang betul-betul masak. Karena pembeli tidak mau yang begitu. Dan pengaruhnya juga nanti ke rasa kopi.” Demikian ujar Jack, sambil menunjukan biji kopi yang telah disortir, sebagaimana diterjemahkan oleh Pince.
Lebih lanjut, Jack menjelaskan, harga biji kopi yang dalam bentuk green bean di UPH Enauto kini 70 ribu perkilo. Sebelum Covid – 19, 100 ribu perkilo. Jack menekankan, pihaknya tidak akan pernah beli biji kopi yang jelek secara kualitas. “Biasanya kalau masyarakat bawa datang biji kopi dari Ugapuga, bahkan Mapia yang jauh juga kalau kualitas biji kopinya tidak bagus kami suruh bawa pulang. Atau dibeli tapi dengan harga yang murah, karena nantinya kami yang sibuk-sibuk sortir lagi,” jelas Jack. Selama ini UPH Enauto juga membeli biji merah (langsung dari pohon milik para petani) dengan harga 10 ribu perkilo. Untuk diketahui, 8 kilo biji ceri sama dengan 1 kilo green bean. Jual dalam bentuk biji merah, harga murah tetapi para petani tidak perlu repot-repot untuk mengupas kulit dan menjemurnya, karena itu tugas prosesor. Sedangkan jika jual dalam bentuk biji hijau (green bean), harga mahal tetapi dari mulai perambangan, kupas kulit, hingga penjemuran dilakukan oleh para petani dan itu membutuhkan waktu.
Selanjutnya, penjelasan singkat tentang cara budidaya hingga perawatan yang meliputi pembersihan kebun, pembuatan rorak, pemangkasan, pengendalian pohon penaung, dan penyimpanan biji kopi, yang dijelaskan oleh Herman Degei, dan diterjemahkan oleh Pince Yumai. Pada penjelasan tentang pembersihan kebun, pembuatan rorak, dan pemangkasan, Degei menampilkan kebun percontohan milik UPH Enauto di Dogiyai yang setiap pohon melimpah buahnya karena lahan kebunnya selalu dibersihkan, dibuat rorak, dan dipangkas. Pada penjelasan tentang pengendalian pohon penaung, Degei mengatakan, tanaman kopi dapat bertumbuh dengan baik dan menghasilkan buah yang berlimpah apabila mendapatkan nutrisi yang cukup dari tanah, dan pencahayaan sinar matahari yang cukup. Pengelolaan pohon penaung pada tanaman kopi diperlukan untuk mengurangi dampak buruk akibat kelebihan maupun kekurangan paparan sinar matahari terhadap tanaman kopi.

“Pohon penaung tidak boleh terlalu rimbun, karena dapat membuat areal pertanaman kopi lembab dan tidak cukup mendapatkan sinar matahari. Karena penyebab bentukan primordial bunga pada tanaman kopi adalah sinar matahari,” jelasnya. Degei menjelaskan, tanaman penaung harus secara rutin dipangkas agar memberikan dampak yang optimal bagi produktivitas tanaman kopi. Pemangkasan pohon penaung bertujuan memberi cahaya matahari, mempermudah peredaran udara dalam area pertanaman, dan mengurangi kelembaban (terutama di musim penghujan).
Sebagai tambahan, Hanok Herison Pigai, juga menjelaskan tentang kopi lanang (atau dalam bahasa Mee “yame kopi”). Kopi lanang adalah istilah untuk menyebut biji kopi atau olahan biji kopi yang tidak berkeping dua. Dalam satu ceri kopi, umumnya terdapat dua biji, tetapi kopi lanang hanya memiliki biji tunggal. Jenis biji kopi ini, jelas Pigai, cukup jarang. Diperkirakan, dari satu kilo biji kopi hanya beberapa ons yang tergolong dalam jenis kopi ini. Karena hanya ada satu-satu. “Memilah dan mengelompokkannya pun butuh waktu, sehingga harganya lebih mahal dari biji kopi biasanya,” katanya. Pigai juga menjelaskan kembali jenis-jenis proses pascapanen beserta rasa dan harganya. Ia mengingatkan kepada para petani agar tidak mencampur biji kopi yang dari proses berlainan. Misalnya biji kopi yang diproses dengan metode honey tidak boleh dicampur dengan biji kopi yang diproses secara semi wash, dstnya.
Berdasarkan proses pendampingan yang dilakukan oleh staf lapangan dan para kader selama beberapa bulan, didapati beberapa kasus, dimana para petani belum tahu cara penyimpanan biji kopi yang ideal. Ada yang lupa, meski sudah diajarkan. Kepada peserta, Degei menjelaskan tentang cara penyimpanan biji kopi. Menurut Degei, kekhasan biji kopi terletak pada aroma serta rasa yang terkandung di dalam setiap biji kopi. Walaupun proses pascapanen sebelum tahapan penyimpanan biji kopi dijalankan secara baik, bisa fatal kalau biji kopi salah disimpan. Penyimpanan biji kopi juga menentukan. “Biji kopi itu sensitif. Dia punya aroma dan citarasa kopi akan berubah kalau disimpan di tempat yang terpapar cahaya, tempat lembab, tempat terbuka, dan kemasannya tidak tertutup rapat. Bapa Mama harus simpan di tempat yang kering, sejuk, kedap udara dan cahaya. Jangan simpan di dapur. Nanti bau asap. Jangan juga simpan di dekat benda yang berbau tajam seperti bensin. Biji kopi nanti bisa bau bensin,” kata Degei, yang kemudian diterjemahkan.
Setelah penjelasan tentang cara budidaya hingga proses pascapanen oleh Program Manajer, Staf Lapangan, Prosesor di UPH Enauto, dan Direktur Program Pengembangan Kopi Arabika Paniai 2021, Hanok Herison Pigai, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Peserta pertemuan yang tidak/masih belum paham mengenai materi yang disampaikan, diberikan waktu untuk bertanya. Bisa kepada pihak YAPKEMA, bisa juga kepada pihak P3MD yang hadir. Kemudian pertanyaan-pertanyaan mereka itu dijawab satu persatu. Peserta juga diberikan kesempatan untuk menceritakan capaian, permasalahan, ataupun tantangan yang dihadapi, dan memberikan masukan (jika ada), baik kepada pihak YAPKEMA ataupun P3MD.
Penanya pertama, Olin Keiya, bertanya mengenai bagaimana jika jarak satu pohon dengan pohon lainnya di sebuah kebun sangat berdekatan? Juga, apa yang harus dilakukan kalau di kebun ada tunas-tunas kopi baru yang tumbuh di sekitaran pohon kopi? Degei menjawab, jarak antara setiap pohon kopi yang ideal adalah 2,5 meter. Apabila pohon kopi berdekatan, akan sulit bagi petani untuk memanen buah karena antara satu pohon dengan pohon lainnya saling rapat. Selain itu tanah di bawahnya akan lembab, dan sulit untuk membuat rorak. “Kemudian, kalau di sekitar Bapa Mama punya pohon kopi ada anakan-anakan kopi, harus cabut dan buang. Karena mereka ini akan merampas nutrisi atau unsur hama yang harusnya dimakan oleh pohon kopi inti untuk pertumbuhannya. Rumput di sekitar pohon kopi juga harus selalu dibersikan dan dibuang ke rorak yang dibuat supaya jadi pupuk,” jelas Degei.
Selanjutnya, pertanyaan dari bapak Lukas Pigome, petani kopi dari Okeitadi, yaitu tentang kepastian pembagian alat perawatan kebun berupa gunting dan gergaji serta tempat penjemuran. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Hanok Herison Pigai. Katanya, untuk alat kerja akan dibagikan hari ini. Sementara tempat penjemuran, akan dibuatkan hanya bagi petani yang sungguh-sungguh merawat serta membersihkan kebunnya sebagaimana diajarkan pada saat pelatihan. “Yang dapat tempat penjemuran mereka yang serius dan sungguh-sungguh kerja mereka punya kebun saja. Nanti ada staf lapangan dan petani kader kami yang akan melakukan monitoring dan pendampingan. Mereka inilah yang akan menilai dan mendata siapa-siapa yang layak dibuatkan tempat penjemuran. Kalau mereka datang, Bapa Mama harus terima mereka. Jangan menaruh curiga, atau marah-marah. Karena mereka inilah yang kami tugaskan untuk di lapangan,” katanya.

Pigai juga menjelaskan apa yang bisa dibantu dan tidak bisa dibantu oleh YAPKEMA sebagai LSM. “Yang kami bisa lakukan adalah membuat pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas bagi petani, pembagian alat perawatan kebun yang sederhana seperti gunting dan gergaji, serta pembuatan tempat penjemuran (yang ada syaratnya). Misal kalau mau dibuatkan tempat jemur biji kopi, harus bekerja sungguh-sungguh,” katanya. Sementara yang berkaitan dengan pembelian alat produksi kopi seperti pulper, huller, roasting, yang membutuhkan dana besar, kata Pigai, harus oleh dinas terkait atau melalui dana kampung. Petani bisa sampaikan melalui tenaga ahli P3MD yang hadir agar diteruskan ke pihak yang berwewenang. Misalnya dengan usulan pengadaan alat di kampung dari skema dana desa.
Lebih lanjut, Pigai mengatakan, apabila program ini berlanjut di tahun depan, YAPKEMA akan mendata para petani yang punya kios di kampung-kampung agar di kemudian mereka bisa menjual kopi dan gula. “Kopinya dari daerah masing-masing. Misalnya masyarakat yang dari Aradide jual dan minum kopi Aradide. Masyarakat dari Paniai Barat, jual dan minum kopi Paniai Barat. Kami akan bekerja sama dengan Enauto untuk proses kopi bubuk yang harganya terjangkau, sepuluh ribu per bungkus, yang bisa diminum oleh keluarga. Para petani yang terdata akan diberi pelatihan tentang cara berbisnis, cara pencatatan cash flow (uang keluar masuk), dan manajemen keuangan. Di kios tersebut mereka akan jual gula dan kopi terutama, dan barang-barang sembako lainnya seperti beras, supermi, dan lain-lain,” kata Pigai.
Pigai melanjutkan, dengan cara itu kita memboikot produk dari luar seperti kapal api, kopi luwak, ABC Mocca, dan lain-lain, yang kita tidak tahu bahannya apa, proses produksinya bagaimana, dan menguntungkan mereka. Kita harus minum kita punya kopi sendiri. Kita jual kita punya kopi sendiri. Kita beli kita punya kopi sendiri. Itulah cara yang terhormat untuk ”mengusir” mereka. Karena kita tidak lagi bergantung sama mereka, sama produk mereka. Setelah menjelaskan tentang rencana pendataan pada program tahun depan, Pigai memberikan kesempatan kepada para peserta lagi.
Ada satu penanya lagi, yaitu bapak Lukas Pigome. Dia berkisah, pernah ada pendataan dari dinas terkait di kabupaten bagi mereka yang punya kebun, lalu dibukakan buku rekening di Bank Papua. Rencananya ketika itu, mereka yang punya kebun kopi dan didata akan mendapatkan insentif dari pemerintah pada setiap bulan. Di bulan pertama dan kedua dikasih, tetapi selanjutnya tidak dikasih lagi. Beberapa kali bapak Lukas dan beberapa temannya pergi cek ke Bank Papua, tetapi katanya belum masuk. Mereka tanya ke dinas terkait, katanya sudah dikasih ke pihak Bank. Bapak Lukas dan teman-temannya menjadi bingung. Siapakah yang benar? Apakah pihak Bank atau dinas terkait? Sebagai tenaga ahli P3MD, bapak Sebas ditanya apakah tahu masalah ini? Menjawab pertanyaan tersebut, bapak Sebas lebih dulu memperkenalkan diri serta menjelaskan posisinya. Bapak Sebas meminta agar bapak Lukas dan teman-temannya tidak terlampau fokus ke insentif yang dikasih pemerintah, namun tetap bekerja secara serius dan sungguh-sungguh. Dana insentif yang dikasih oleh pemerintah, menurut Sebas, hanyalah sebagai bentuk penghargaan untuk meningkatkan semangat dan gairah kerja dari para petani.
Bapak Sebas juga mengaku tidak mengetahui bagaimana cara kerja pemerintah dalam menangani program kopi (petani kopi baru). Ia juga tidak tahu-menahu sejauh mana perkembangan para petani yang dibukakan rekening. Namun berkaitan dengan dana desa, kata Sebas, akan diupayakan supaya 80 petani kopi yang sudah didata YAPKEMA bisa diakomodir. “Yang punya kewenangan penuh mengatur dana desa adalah kepala desa. Saya punya tugas untuk memberitahukan/mengingatkan para kepala desa bahwa, di desanya ada petani kopi sekian, peternak babi sekian, pembudidaya ikan sekian, sehingga orang-orang tersebut bisa diperhatikan. Untuk wilayah Paniai Barat yang terdiri dari tiga distrik, yakni Muye, Paniai Barat, dan Nakama. Kebetulan saya koordinator umum untuk wilayah itu. Nanti saya usahakan. Yang penting para petani kopi konsisten meembersihkan dan merawat kebun kopinya,” katanya.
Sementara koordinator umum pendamping untuk wilayah Aradide, kata Sebas, adalah bapak Andreas Degei, yaitu temannya. Dia berjanji akan bercerita ke Degei soal 40 petani di wilayah Aradide agar diingat dan diakomodir. “Pasti saya bicara dengan teman-teman pendamping juga, semua cerita dan usulan yang disampaikan para petani kopi ini. Tahun 2022 akan ada alokasi 20 % dari dana desa untuk pemberdayaan ekonomi. BUMDES di setiap desa akan diaktifkan sesuai potensi dan karakter masyarakatnya. Mereka yang dapat bantuan dana untuk mengembangkan usaha mereka, atau menunjang produktivitas mereka, adalah mereka yang sungguh-sungguh dan mau serius. Pasti tim kami akan turun melihat langsung,” kata Sebas.
Selanjutnya, berdasarkan hasil pendampingan dan supervisi yang dilakukan staf YAPKEMA ke kebun kopi para petani, ada beberapa petani yang dinilai telah berhasil membersihkan dan merawat kebunnya sebagaimana yang diajarkan pada saat pelatihan. Dari beberapa orang di dua sentra wilayah tersebut, dipilih masing-masing dua orang. Dari wilayah Paniai Barat, Yoni Boma dan mama Olin Keiya. Sedangkan dari wilayah Aradide, bapak Pdt. Daud Kudiai dan mama Meliyana Muyapa. Keempat orang tersebut disuruh maju ke depan, kemudian Program Manajer menjelaskan alasan kenapa keempat orang tersebut dipilih. Yoni Boma misalnya, baru mulai merawat kembali kebunnya ketika ada sosialisasi Program Kopi dari YAPKEMA pada awal Agustus lalu. Ketika ada monitoring dari staf YAPKEMA beberapa minggu lalu, tanpak Yoni sudah mulai merawat dan membersihkan kebun kopinya lagi. Yoni juga telah membersihkan lahan baru, membuat lobang tanam, untuk ditanami pohon kopi baru.
Begitu juga dengan tiga petani lainnya. Ada kemajuan yang cukup baik. Kebun kopi mama Meliyana Muyapa yang berlokasi di kampung Emai, distrik Aradide, kabupaten Paniai misalnya, awalnya dipenuhi oleh pohon pisang dan buah-buahan lain. Saking banyaknya, warga sekitar rumahnya sering mengambil daun pisang ketika hendak barapen (bakar batu). Sementara pohon kopi seperti sekadar hiasan kebun. Pohon kopi mama Meliyana juga lama diterlantarkan karena tidak ada tempat penjualan biji kopi. Pohon kopinya tinggi-tinggi, nyaris sama tinggi dengan pohon cemara yang ditanam sebagai penaung. Mama Meliyana baru mulai membersihkannya dengan modal pengetahuan serta peralatan yang didapatkan melalui pelatihan serta pengadaan alat perawatan kebun kopi oleh YAPKEMA. Kebunnya kini mulai bersih dan terawat. Di sebelah kebun lamanya, mama Meliyana juga sudah mulai menanam pohon kopi baru. Untuk pohon penaung, rencana ditanami pohon lamtoro, sebagaimana disarankan pada saat pelatihan. Kini mama Meliyana sudah mulai menjual biji kopinya kepada UPH Enauto melalui YAPKEMA.
Empat orang tersebut diberikan ganjaran oleh direktur YAPKEMA atas keseriusan dan kesungguhan mereka dalam merawat kebun. Setelah pemberian penghargaan, kegiatan dilanjutkan dengan pembagian alat perawatan kebun berupa gunting dan gergaji kepada para petani, dan kegiatan diditutup sekitar pukul 14:30 WIT.
No Comment