
Hanok Herison Pigai, direktur Yapkema saat memaparkan materi Sosialisasi Program di sentra wilayah Paniai Barat (7/8/2021) – Dok: YAPKEMA
Wilayah adat Meepago, Papua, dikenal sebagai salah satu penghasil kopi arabika terbaik. Kabupaten Paniai adalah salah satunya. Didukung faktor geografis, iklim, dan luasan areal perkebunan, kopi di wilayah ini pernah menjadi produk unggulan dan terkenal sampai ke Eropa. Sayangnya, produk ini sekian lama ditelantarkan dan baru beberapa tahun belakangan ini mulai dilihat dan dikembangkan lagi oleh masyarakat adat Papua, dalam hal ini suku Mee.
Pengembangan kopi arabika, apalagi yang berkelanjutan, kini menjadi tantangan yang membutuhkan kesiapan di tingkat masyarakat. Kesiapan itu mensyaratkan ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam budidaya kopi dan pengolahan pasca-panen.
Kemandirian ekonomi masyarakat adat sangat bergantung pada kemampuan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Agar kemampuan meningkat, perlu dilakukan serangkaian pelatihan, pengadaan peralatan, dan pendampingan kepada kelompok petani sasaran.
Petani-petani yang terlatih ini selanjutnya diharapkan dapat memproduksi kopi yang berkualitas dan berkelanjutan sehingga mampu memenuhi kebutuhan pasokan global yang meningkat.
Misi inilah yang mengumpulkan sebanyak 108 orang yang meliputi petani kopi, kepala distrik, kepala kampung, tokoh adat, serta tokoh agama hadir dalam kegiatan bertajuk “Sosialisasi Program Pengembangan Kopi Arabika Berbasis Masyarakat Adat Paniai dalam Upaya Kemandirian dan Pelestarian Alam”.
Kegiatan yang diinisiasi oleh Yayasan Pembangunan Kesejahteran Masyarakat (YAPKEMA) Papua yang didukung oleh Yayasan Ekosistim Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa), dilakukan di dua kawasan: Paniai Barat dan sekitarnya serta Aradide dan sekitarnya, di Kabupaten Paniai.
Pada hari Sabtu, 7 Agustus 2021, dari pukul 09.00 – 13.30 WIT, sebanyak 54 orang yang tersebar di 13 kampung di 3 distrik, yakni Paniai Barat, Nakama, dan Muye hadir dalan kegiatan sosialisasi di Aula Gereja Paroki St. Fransiskus Obano, Paniai – Papua.
Selanjutnya, pada hari Selasa, 10 Agustus 2021, 54 orang lainnya dari 19 kampung di 6 distrik: Aradide, Fajar Timur, Bogobaida, Topiyai, Ekadide dan Aweida hadir dalam kegiatan yang dilakukan di salah satu ruangan kelas SMP Negeri 1 Aradide.

Hanok Herison Pigai, direktur Yapkema saat memaparkan materi Sosialisasi Program di sentra wilayah Aradide (10/8/2021) – Dok: YAPKEMA
Dalam kedua kegiatan itu Hanok Herison Pigai, selaku Direktur Yapkema sekaligus Direktur Program menyampaikan dua tujuan dari program pengembangan kopi ini. “Tujuan umum, kami ingin mengembangkan kopi arabika Paniai sebagai komoditas perkebunan masyarakat adat dalam mengantisipasi ancaman deforestasi lingkungan sekaligus dikelola menjadi komoditas yang memberikan nilai ekonomis untuk kemandirian dan kesejahteraan masyarakat adat Paniai. Sedangkan tujuan khusus, pertama, kami ingin meningkatkan pengetahuan masyarakat adat tentang pengendalian pengelolaan alam lingkungan melalui budidaya kopi arabika. Kedua, kami ingin memperbaiki kualitas biji kopi para petani melalui penyediaan fasilitas pengolahan pasca panen. Ketiga, kami ingin menyediakan unit bisnis di petani sebagai tempat pemasaran biji kopi,” urai Pigai.
Dia mengapresiasi program Gerakan Tanam Kopi oleh Pemerintah Kabupaten Paniai yang mulai gencar mengajak masyarakat untuk menanam kopi. Namun sebagai lembaga yang sudah cukup lama mendorong masyarakat adat suku Mee berdaya di sektor kopi arabika, melalui program Pengembangan Kopi Arabika Berbasis Masyarakat Adat, Yapkema ingin ikut berperan memastikan bahwa masyarakat menanam kopi bukan hanya demi mendapatkan insentif atau bantuan dari pemerintah.
“Program ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa menanam kopi adalah untuk kemandirian ekonomi yang berjangka panjang dan untuk kelestarian alam,” kata Pigai saat membuka forum sosialisasi di kawasan Aradide.
“(Gerakan tanam kopi) adalah awal yang baik. Namun persoalan selanjutnya adalah, bagaimana dengan para petani kopi lama (petani yang telah memiliki kebun kopi berusia tahunan–ed)? Apakah setiap pohon kopi yang mereka punya berbuah baik? Apakah mereka cukup punya pengetahuan untuk merawat pohon kopi dan membuat pupuk sendiri? Bagaimana dengan pengetahuan mereka terkait pengolahan pasca panen? Bagaimana dengan akses pasar mereka? Dan seterusnya,” lanjut Pigai.
Materi inti sosialisasi program ‘Pengembangan Kopi Arabika Berbasis Masyarakat Adat’ itu meliputi latar belakang program, tujuan, bagan alur transfer pengetahuan; dan program inti yakni: pendampingan, pelatihan perawatan kebun dan pengolahan pasca panen, koordinasi, pengorganisasian Unit Pengembangan Kopi Berbasis Masyarakat (UPKBM), promosi dan pemasaran.
Lima keutamaan budidaya kopi arabika
Budidaya kopi bermanfaat baik secara ekonomi, maupun juga ekologi.
“Pertama-tama, dengan kopi masyarakat bisa mendapatkan uang dan memenuhi kebutuhan hidup (mandiri secara ekonomi). Kedua, dengan menanam kopi (beserta pohon peneduhnya), masyarakat juga sedang menghasilkan oksigen buat anak cucu sekaligus ikut berperan menyerap emisi karbon yang merupakan penyebab pemanasan global. Ketiga, dengan kopi, masyarakat mencegah terjadinya erosi/longsor, yang artinya dengan menanam kopi, masyarakat telah ikut melestarikan Danau Paniai. Keempat, dengan menanam kopi, masyarakat mempertahankan tanah adatnya. Dan kelima, yang tak kalah penting, kopi yang dikonsumsi murni adalah minuman yang bermanfaat untuk kesehatan,” urai Pigai.

Hanok Herison Pigai, direktur Yapkema saat memaparkan materi Sosialisasi Program di sentra wilayah Paniai Barat (7/8/2021) – Dok: YAPKEMA
Mayoritas masyarakat adat Mee di Paniai bergantung dan hidup disekitar kawasan Danau Paniai. “Danau Paniai yang telah lama menjadi pusat peradaban bagi orang Mee yang tinggal di sekitarnya kini sudah terancam,” kata Pigai.
Pasalnya polusi sampah plastik semakin bertumpuk di beberapa hilir sungai, eceng gondok dan beberapa gulma lain di beberapa titik di tepian danau terus mempersempit permukaan danau, sungai pembuangan air danau yang hanya satu yaitu sungai Yawei, minimnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan, belum adanya tindakan penanggulangan yang tepat, serius dan berjangka panjang dari pemerintah daerah, ditambah masalah sedimentasi, semakin memperparah masalah ini.
Pigai merujuk penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis beberapa tahun lalu yang mengungkapkan bahwa danau Paniai sudah sedang mengalami ancaman pendangkalan karena pasir, tanah, sampah plastik, lumpur, dan kekayuan kering terbawa ke danau melalui tujuh sungai besar: sungai Aga, sungai Eka, sungai Weya, sungai Koto, sungai Muye, sungai Waneuwo, dan sungai Kowabeu.
Pengendapan yang terjadi di dasar permukaan danau Paniai, telah menjadi perkara serius. Hal ini membuat daya tampung air danau semakin sempit sehingga sering meluap dan menenggelamkan pemukiman warga sekitar, lahan pertanian, badan jalan, dan beberapa fasilitas publik seperti sekolah dan pasar.
Melalui budidaya kopi, petani dan masyarakat Paniai secara umum telah mengambil bagian untuk melestarikan Danau Paniai, karena kopi dan tanaman penaungnya turut mencegah erosi dan banjir.
Pigai menyoroti kondisi yang kontras antara ketersediaan lahan potensial yang dapat dikembangkan dengan kemiskinan di Paniai. “Banyak lahan yang tingkat kesuburannya tinggi, tetapi tidak dikelola menjadi sesuatu yang bisa membawa nilai ekonomi. Kita kadang terlalu malas dan berpangku tangan. Kita tidak fokus, cepat terpengaruh dengan berbagai isu yang sebetulnya tidak penting, dan jalan ke sana kemari tanpa tujuan yang jelas. Kita lebih tertarik bermain togel, ludo king, rolex dll. Padahal tanah ada, tapi ditelantarkan begitu saja. Penyakit-penyakit sosial ini mesti dihilangkan kalau kita mau ada perubahan,” tegasnya.

Hanok Herison Pigai, direktur Yapkema saat memaparkan materi Sosialisasi Program di sentra wilayah Aradide (10/8/2021) – Dok: YAPKEMA
Pigai lalu membandingnan kondisi masyarakat di Paniai dengan masyarakat di dataran tinggi Gayo, Aceh. “Di sana, rata-rata petani menanam kopi jenis arabika. Hampir semua bukit di sana ditanami kopi. Produksi kopi para petani hingga berton-ton. Pendapatan per kapita masyarakat dari hasil kopi mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Kenapa bisa begitu? Karena mereka bekerja sungguh-sungguh. Gayo yang merupakan daerah penghasil kopi arabika terbaik di Indonesia, bahkan sudah dikenal sampai manca negara ini patut dicontohi.” Pigai menjelaskan.
Tanggapan petani dan tokoh masyarakat
Para petani kopi, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat di tingkat distrik dan kampung di kedua kawasan tersebut menyambut baik rencana program yang sedang dan akan dikerjakan oleh Yapkema.
Derek Kadepa, Sekretaris Distrik Fajar Timur mengatakan, hingga saat ini banyak masyarakat di kampung-kampung yang sudah punya kebun kopi warisan orangtua mereka, namun belum diberdayakan. Petani kopi lama yang ada pun belum terdata dengan baik. Sementara itu, Gerakan Tanam Kopi yang digencarkan pemerintah daerah telah mendorong petani kopi baru semakin banyak.
“Mereka sampai dibukakan ATM dan diberi insentif secara berkala. Harusnya petani kopi yang lama itu yang lebih dulu didata baik dan diperkuat kapasitasnya. Lalu juga difasilitasi peralatan produksi dan pastikan akses pasar. Saya apresiasi dengan kegiatan yang sedang kita lakukan ini. Apalagi dengan mengkaderkan dan menggunakan anak asli masyarakat setempat untuk menyukseskan program pengembangan kopi,” ungkapnya.
Derek Kadepa berharap, masyarakat diajarkan bagaimana cara perawatan kopi yang benar, proses pasca panen yang betul, bagaimana cara membuat dan memupuk tanaman kopi secara organik, dan seterusnya.
Oktopianus Yogi, Kepala Distrik Aradide, juga menekankan bahwa menanam kopi, adalah bagian dari memuliakan sekaligus mempertahankan tanah yang diwariskan dari generasi sebelumnya, sehingga orang atau perusahaan dari luar tidak mudah mencaplok lahan yang ada. Menurut Yogi, sekalipun tanpa ada dukungan dari Pemda ataupun yayasan, sudah seharusnya masyarakat menanam kopi. “Karena yang menikmati hasilnya ‘kan masyarakat sendiri. Apalagi saat ada program seperti ini, masyarakat harus sungguh-sungguh melibatkan diri. Ini kesempatan,” kata Yogi.

Oktopianus Yogi, Kepala Distrik Aradide saat menyampaikan kata sambutan di awal kegiatan Sosialisasi Program di sentra wilayah Aradide (10/8/2021) – Dok: YAPKEMA
Yohanes Pigai, salah satu petani kopi yang hadir dalam kegiatan di Obano, Paniai Barat, menuturkan dirinya mempunyai lebih dari 1000 pohon kopi yang produktif, tapi hingga saat ini terkendala di alat perawatan dan tempat penjemuran.
Dia mengaku pernah beberapa kali didatangi orang dari pemerintah daerah. Nama dan kebunnya didata, dia sendiri difoto, lalu orang dari pemerintahan itu ‘hilang kabar’, tak pernah datang lagi. Dia berharap hal itu tidak terjadi kembali. “Seperti yang dijelaskan tadi, semoga dalam beberapa bulan ke depan ada pelatihan-pelatihan, pengadaan alat perawatan kebun, dan kalau bisa buatkan tempat pejemuran juga,” harapnya.
Terkait peralatan perkebunan, Mesak Degei, salah satu petani kopi dari Kampung Ekadide bertanya apakah pihak yayasan dapat memberikan bantuan mesin pengelupasan kulit. Yapkema mengatakan pihaknya sementara ini hanya mengambil peran untuk memperkuat kapasitas petani melalui beberapa pelatihan tematik, menghubungkan para petani kopi dengan pasar, serta membelikan alat perawatan kebun kopi seperti gergaji dan gunting dahan.

Mesak Degei, petani kopi dari kampung Okonobaida saat bertanya kepada pemateri pada kegiatan Sosialisasi Program di sentra wilayah Aradide (10/8/2021) – Dok: YAPKEMA
“Sementara untuk pengadaan mesin pengelupasan kulit buah, akan kami sampaikan kepada pemangku kepentingan di tingkat pemerintah kabupaten seperti Dinas Pertanian, DPMK, dan Bapedda. Pembelian mesin juga sebetulnya bisa dilakukan oleh kepala kampung menggunakan dana kampung. Misalnya dalam satu kampung ada 2 kelompok tani, belikan masing-masing satu buah,” kata Pigai.

Hanok Herison Pigai, direktur Yapkema saat memaparkan materi Sosialisasi Program di sentra wilayah Aradide (10/8/2021) – Dok: YAPKEMA
Yakoba Keiya, petani kopi perempuan dari Kampung Pakage Kebo mengeluhkan bahwa dirinya bersama keluarga selama ini sering merugi karena belum tahu ke mana harus menjual biji kopinya. Dia berharap agar Yapkema juga menghubungkan para petani seperti dirinya dengan pasar.
Khusus terkait pasar, Hanok Herison Pigai menjelaskan beberapa tempat pembelian biji kopi sudah ada selama ini, baik di Paniai, Dogiyai, dan Nabire. Di Paniai misalnya, UPH Enauto Coffee membeli biji kopi masyarakat melalui Yapkema di Ugibutu, Enarotali dengan harga yang cukup baik (adil).
Selanjutnya, Mama Desi Boma juga dari Kampung Pakage Kebo, mengatakan dirinya optimis kalau ada peralatan dan pengetahuan tentang penggunaan peralatan ditambah pelatihan-pelatihan, maka para petani pasti bersemangat merawat kebun kopi yang ada. Menurutnya, yang dibutuhkan petani kopi hari ini sebetulnya peralatan perawatan dan pengetahuan tentang cara merawat kopi agar berbuah baik dan melimpah.
Usulan tentang pengadaan alat perawatan pohon kopi ini datang juga dari beberapa petani lainnya, karena selama ini kendala mereka di situ. Bapak Obaya Tebai misalnya, mengeluhkan betapa susahnya mendapatkan peralatan sarana produksi tani (saprotan) seperti gunting dahan, gergaji, dll di Paniai, bahkan di Nabire.

Obaya Tebai, salah satu petani kopi sekaligus tokoh masyarakat saat menyampaikan kendala-kendala yang dihadapi petani kopi selama ini pada kegiatan Sosialisasi Program di sentra wilayah Paniai Barat (07/8/2021) – Dok: YAPKEMA
Mewakili tokoh adat, Vitalis Pigai, selaku kepala suku di Distrik Paniai Barat menyampaikan landasan pentingnya budidaya kopi dari segi penghidupan orang Mee. Menanam kopi, kata Pigai, adalah hal yang kini wajib dilakukan oleh seluruh masyarakat adat supaya terus produktif secara ekonomi. Karena kopi bisa dipanen secara terus-menerus, berjangka panjang, dan bisa menghasilkan uang. Masalah pemasaran, katanya, tidak perlu dikhawatirkan lagi karena sekarang tidak sesusah dulu. “Ada di pastoran Enarotali, Obano, Moanemani, Nabire, termasuk Enauto Kopi melalui Yapkema di Enarotali,” katanya.

Vitalis Pigai, kepala suku di distrik Paniai Barat saat menyampaikan pendapatnya pada kegiatan Sosialisasi Program di sentra wilayah Paniai Barat (7/8/2021) – Dok: YAPKEMA
Yusak Kudiai, selaku Sekretaris Distrik Paniai Barat, berharap adanya kerja sama dari berbagai pihak seperti Dinas Pertanian, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung (DPMK), Dinas Perindagkop, Bapedda, Yapkema dan kepala-kepala kampung untuk memfasilitasi para petani kopi, baik dalam hal peralatan perawatan pohon dan kebun kopi, pelatihan perawatan kopi, serta kepastian pasar yang terus menerus untuk masyarakat menjual biji kopinya.

Yusak Kudiai, Sekretaris Distrik Paniai Barat saat menyampaikan sambutan pada kegiatan Sosialisasi Program di sentra wilayah Paniai Barat (7/8/2021) – Dok: YAPKEMA
Pihak Yapkema berjanji akan menyampaikan aspirasi ini dan hal-hal lain yang menjadi masukan dalam kegiatan tersebut ke forum Sosialisasi Program di tingkat Kabupaten yang juga akan diselenggarakan di waktu mendatang. “Pasti akan kami sampaikan saat sosialisasi program di tingkat kabupaten nanti, karena program ini perlu dukungan dan keterlibatan dari berbagai pihak secara proporsional,” kata Pigai. (HD/Yapkema)
No Comment